Showing you care .....

Knowing you are giving comfort and strength to the loved ones left behind should quell any concerns you may have about the exact wording of the message...........

Wednesday, March 30, 2005

Magnitudo Gempa

Magnitudo gempa adalah parameter gempa yang berhubungan dengan besarnya kekuatan gempa di sumbernya. Jadi pengukuran magnitudo yang dilakukan di tempat yang berbeda, harus menghasilkan harga yang sama walaupun gempa yang dirasakan di tempat-tempat tersebut tentu berbeda.

Richter pada tahun 30-an memperkenalkan konsep magnitudo untuk ukuran kekuatan gempa di sumbernya. Satuan yang dipakai adalah skala Richter (Richter Scale), yang bersifat logaritmik. Pada umumnya magnitude diukur berdasarkan amplitudo dan periode fase gelombang tertentu.

Ada beberapa jenis magnitude yang pernah diperkenalkan dan dipakai sampai saat ini :

  1. Magnitude lokal ML diperkenalkan oleh Richter untuk mengukur magnitude gempa-gempa lokal, khususnya di California Selatan, dengan menggunakan fase gelombang P.
  2. Magnitude yang diukur berdasar amplitudo gelombang permukaan disimbulkan dengan MS. MS diperkenalkan oleh Guttenberg menggunakan fase gelombang permukaan terutama gelombang R.
  3. Magnitude lain yaitu mb (body waves magnitude) diukur berdasar amplitudo gelombang badan, baik P maupun S. Sudah tentu rumus yang dipakai untuk menghitung mb ini dapat digunakan di semua tempat (universal). Tapi perlu dicatat bahwa faktor koreksi untuk setiap tempat (stasiun gempa) akan berbeda satu sama lain.


So , ....................

Waktu kemarin melihat berita gempa di pulau Nias dan Simelue, terdapat perbedaan antara BMG dan pemberitaan dari VOA (aku lihat ini sich) angka kekuatan gempa yaitu 8,2 dan 8,7.

Setelah cari – cari kenapa bisa begitu, hasilnya adalah : .......(heheh)

Perbedaan yang itu terjadi karena mereka menggunakan perhitungan magnitudo yang berbeda. BMG menggunakan perhitungan Magnitude gelombang badan, mb, sedangkan USGS dalam situsnya mengatakan bahwa „defaultnya“ mereka menggunakan perhitungan Moment Magnitude,Mw, yang dirumuskan sebagai Mw=(2/3) log M0 -10,7, dengan M0 dalam dyne-cm, yang tergantung pada jenis batuan, dan dimensi dari patahan penyebab gempanya. Metode yang dipakai oleh USGS lebih universal, mengingat perhitungan berdasarkan Amplitudo seismogram akan sangat tergantung pada kondisi geologi dan karakteristik fisika dari instrument pencatatnya.

Jadi sebetulnya harga2x yang dikeluarkan baik oleh BMG ataupun USGS itu adalah ekivalen alias hampir mendekati. (hmmm.........).

Energi Gempa

Kekuatan gempa disumbernya dapat juga diukur dari energi total yang dilepaskan oleh gempa tersebut. Energi yang dilepaskan oleh gempa biasanya dihitung dengan mengintegralkan energi gelombang sepanjang kereta gelombang (wave train) yang dipelajari (misal gelombang badan) dan seluruh luasan yang dilewati gelombang (bola untuk gelombang badan, silinder untuk gelombang permukaan), yang berarti mengintegralkan energi keseluruh ruang dan waktu.

Kenaikan magnitude gempa sebesar 1 skala richter akan berkaitan dengan kenaikan amplitudo yang dirasakan disuatu tempat sebesar 10 kali, dan kenaikan energi sebesar 25 sampai 30 kali.

Tak coba hitung tentang perbedaan besar waktu pemberitaan gempa dan gelombang tsunami yang mengikuti gempa itu, di indonesia diberitakan kekuatan gempa sebesar 6,4 SR sedangkan dari pengukuran luar negeri 8,9 SR, jadi :

Mw=(2/3) log M0 -10,7, ...........dengan M0 dalam dyne-cm

Energi gempa Andaman-Nicobar (Aceh) adalah 3.57 x 10 ^ 29 dyne cm.

Mw=(2/3) x log 10 (3.57x10^29) - 10.7 = 9,0

mb = 0.56 MS + 2.9

Dengan energi sebesar ini akan dihasilkan perhitungan mb sekitar 6,4 an.

Maka kira – kira sama saja, karena alatnya dan cara pengukurannya berbeda.

Nah bener gak sich..........habis aku bukan orang geologi sich, hehehe.....

Menurutku ..... kenapa sich bukan cara dan alatnya saja yang distandarisasi sich, jadi bagi yang seperti aku ini (awam!!!) gak bingung karena berita yang berbeda angkanya.

Kirain BMG salah mulu ....... abis indonesia suka discount apapun itu ....(bener gak sich, gitu lho).

Wednesday, March 02, 2005

Badan Mitigasi Bencana Nasional

Bencana gempa dan tsunami Aceh telah mengajarkan kepada semua pihak, betapa rendahnya pemahaman masyarakat terhadap upaya darurat menghadapi ancaman bencana dan tidak siapnya pemerintah dengan infrastruktur pertahanan sistem peringatan dini dan mitigasi bencana.

Tidak mengherankan, apabila terjadi akumulasi jumlah korban melewati angka 124 ribu jiwa di Aceh.

Jepang telah memasang 300 buah sensor pengukur tekanan di dasar laut (bottom pressure sensor) yang dapat mendeteksi pergerakan gelombang tsunami sebagai basis sistem peringatan dini mereka. Sistem ini bekerja hanya dalam hitungan 4-5 menit untuk memastikan potensi tsunami, begitu gempa bumi terjadi di dasar laut, dan mengirimkan informasinya kepada seluruh masyarakat Jepang. Untuk tujuan ini, pemerintah Jepang mengalokasikan dana Rp. 180 M setiap tahunnya dalam upaya memperbaharui kinerja sistem tersebut.

Khusus untuk teknologi sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, dapat dilakukan dengan memasang sensor pengukur perubahan tinggi muka laut (tide gauge) di sisi pulau terluar (misalnya di sekitar kepulauan Mentawai) dan dihubungkan dengan sistem telemetri sederhana ke stasiun relay milik provider selular (Telkomsel, dll.) yang telah memiliki jaringan luas di Indonesia. Dari stasiun relay terdekat lokasi pengamatan ini selanjutnya dapat diteruskan ke pusat pengolahan data di setiap provinsi rawan bencana.

Proxy gelombang tsunami dapat dideteksi dengan mengamati perubahan muka laut yang turun secara drastis (surut secara mendadak) sebelum gelombang pasang tsunami pertama terjadi. Posisi stasiun yang berada di dekat lokasi gempa akan menghemat waktu pengiriman sinyal peringatan secara telemetri ke stasiun pengolah data di daratan. Biaya yang dibutuhkan untuk instalasi sistem ini jauh lebih murah dibandingkan pemasangan Bottom Pressure Sensor (BPS) yang digunakan Jepang dan Amerika. Alternatif lainnya adalah dengan memasang pelampung yang dapat mengukur pergerakan vertikal gelombang tsunami di laut memanfaatkan teknologi GPS (Geo-Positioning System). Teknologi ini juga relatif lebih murah dibandingkan dengan instalasi BPS di atas.

Ruang lingkup mitigasi bencana di Indonesia sangat luas, mengingat rumitnya potensi bencana yang ada di darat, laut dan udara ataupun interaksi diantaranya. Selain gempa dan tsunami yang mempunyai skala waktu panjang dalam rentang 100-250 tahun, Indonesia juga menghadapi potensi bencana yang lebih nyata dan dalam skala waktu yang jauh lebih singkat (jam sampai harian) dari alun gelombang Samudera Hindia yang berinteraksi dengan sistem arus lokal, menyebabkan Selat Lombok rawan terhadap pelayaran nasional (Syamsudin dkk., 2004).

Demikian juga isu "global warming" dan perubahan iklim regional lainnya yang menyebabkan wilayah Indonesia menjadi langganan kebakaran hutan dan kiriman asap ke negara tetangga pada saat musim kemarau dan banjir nasional pada musim penghujan setiap tahunnya.

Apabila definisi ancaman keselamatan nasional kita masukkan dalam kategori bencana, maka maraknya perompakan di Selat Malaka dan aksi pencurian ikan di wilayah territorial Indonesia, semestinya termasuk juga dalam program mitigasi bencana tersebut.

Itulah sebabnya, solusi sektoral dalam program mitigasi bencana yang dilakukan pemerintah selama ini tidak pernah menuntaskan akar permasalahan yang ada setiap kali terjadi bencana. Oleh Karena itu, kebutuhan sebuah Badan Mitigasi Bencana Nasional (BMBN) dalam tataran operasional Lembaga Pemerintah Non-Departemen (LPND) untuk melaksanakan berbagai agenda penyelamatan dan keamanan masyarakat Indonesia merupakan hal yang sangat mendesak saat ini.

=====
dari berbagai sumber (BPPT dan tulisan teman yang sekolah di Jepang).